Jakarta - Di tengah hiruk pikuk gelaran 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), ada sebuah nama yang layak dikenang. Dia adalah Ali Sastroamidjojo, perdana menteri kala itu yang berjuang habis-habisan untuk menggelar KAA tahun 1955 di Bandung hingga akhirnya mendunia.
Berawal dari surat Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawala pada awal tahun 1954 yang mengundang Ali untuk menghadiri pertemuan Kolombo. Selain Ali, Kotelawala juga mengundang PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma U Nu, PM Pakistan Muhammad Ali, untuk membahas isu ketegangan di kawasan Indocina (sekarang Vietnam).
Pada 26 April 1954, Ali berangkat ke Kolombo dengan bekal pesan dari Presiden Sukarno agar membuat pertemuan yang lebih besar dibanding lima negara saja. Ketika negara lain sibuk membahas konflik China dan Amerika Serikat terkait Vietnam, Ali terus mendorong agar dibuat pertemuan besar antara negara semua Asia-Afirika dengan tujuan lebih besar: menghapuskan penjajahan.
Lewat lobi yang alot dan sempat disertai penolakan karena sulitnya menyatukan negara-negara di Asia Afrika karena terbelah akibat perang dingin, Ali akhirnya berhasil mendapat dukungan dari empat negara lain. Lobi-lobi pun digelar ke sejumlah negara dan perdana menteri. Sehingga terwujudlah pertemuan di Bogor pada 28-29 September 1954, sebagai langkah awal menuju KAA.
"Jadi peranan pada waktu itu, Pak Ali Sastroamidjojo itu memang bisa luwes mengemong dari lima negara inisiator. Setelah konferensi Kolombo, dia bikin semacam steering committee sehingga bisa terjadi pertemuan KAA," kata peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang fokus pada sejarah Asia dan Afrika, Harry Tjan Silalahi, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (24/4/2015).
Menurut Harry, akhinya pada pertemuan di Bogor, negara-negara tadi sepakat mendukung Indonesia sebagai pengundang dan panitia penyelenggara. Sekretariat bersama dibentuk. Anggotanya terdiri duta besar empat negara, dan ketuanya Roeslan Abdulgani. Bandung dipilih sebagai kota penyelenggara karena ada nilai historis sebagai kota perjuangan.
Total negara yang hadir saat itu ada 29. China sebagai salah satu negara yang cukup besar di Asia bersedia hadir, termasuk negara-negara lainnya. Semua berkat upaya dan kerja keras Ali bersama jajarannya kala itu.
"Waktu itu harus diingat puncaknya pertentangan antara Barat dan Timur sehingga misalnya di dalam komite persiapan ini Pak Ali Sastroamidjojo dapat menarik perhatian yang lain supaya tidak saling curiga," jelas Harry yang memiliki perhatian khusus pada sejarah dan politik Indonesia dan China ini.
"Waktu itu Pak Ali lewat perintah Bung Karno hebat bisa mengajak RRT (Republik Rakyat Tiongkok) bergabung. Sebab waktu itu Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat dan Inggris hobinya mengisolir RRT," sambungnya.
Hingga akhirnya terjadilah KAA 1955 di Bandung dan menghasilkan Dasasila Bandung. Di mata dunia, Indonesia jadi perhatian. Dari sana, muncul pertemuan lanjutan sampai terwujud gerakan Non Blok pada tahun 1961.
"KAA betul-betul merupakan arena di mana negara-negara baru di Asia Afrika tampil dan juga mempunyai tekad untuk mengajak negara-negara sedang memperjuangkan kemerdekaan segera bisa segera memperoleh kemerdekaan. Bagi Indonesia, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah pelaksanaan dari ikrar bangsa Indonesia, yang mengatakan kemerdekaan hak segala bangsa," jelas Harry.
Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Magelang, 21 Mei 1903 dan wafat pada 13 Maret 1976. Dia mendapat gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1927. Ia juga adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat dua kali menjabat pada periode 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).
Selain itu, Ali juga sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presidensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Amir Sjarifuddin II, serta Hatta I, dan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III, Kerja IV, Dwikora I, dan Dwikora II.
"Waktu itu Pak Ali lewat perintah Bung Karno hebat bisa mengajak RRT (Republik Rakyat Tiongkok) bergabung. Sebab waktu itu Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat dan Inggris hobinya mengisolir RRT," sambungnya.
Hingga akhirnya terjadilah KAA 1955 di Bandung dan menghasilkan Dasasila Bandung. Di mata dunia, Indonesia jadi perhatian. Dari sana, muncul pertemuan lanjutan sampai terwujud gerakan Non Blok pada tahun 1961.
"KAA betul-betul merupakan arena di mana negara-negara baru di Asia Afrika tampil dan juga mempunyai tekad untuk mengajak negara-negara sedang memperjuangkan kemerdekaan segera bisa segera memperoleh kemerdekaan. Bagi Indonesia, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah pelaksanaan dari ikrar bangsa Indonesia, yang mengatakan kemerdekaan hak segala bangsa," jelas Harry.
Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Magelang, 21 Mei 1903 dan wafat pada 13 Maret 1976. Dia mendapat gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1927. Ia juga adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat dua kali menjabat pada periode 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).
Selain itu, Ali juga sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presidensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Amir Sjarifuddin II, serta Hatta I, dan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III, Kerja IV, Dwikora I, dan Dwikora II.
0 Response to "Ali Sastroamidjojo, 'Macan' Konferensi Asia Afrika"
Posting Komentar